Kewajiban Memberi Nafkah dan Tempat Tinggal
BAB II
HAK-HAK ISTERI ATAS SUAMINYA
Pasal 3
Kewajiban Memberi Nafkah dan Tempat Tinggal
Allah Ta’ala berfirman:
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian.” [Ath-Thalaaq/: 6]
Dia juga berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” [Al-Baqarah/2: 233]
Dari Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah tanyakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak isteri atas salah seorang di antara kami (suami)?’ Beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ، وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.
“Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberikan pakaian jika engkau mengenakannya, dan janganlah engkau memukul wajah, tidak juga menjelekkan serta tidak berpisah dari tempat tidur (tidak berjima’) kecuali di dalam rumah.” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan].
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Hindun binti ‘Utbah, dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir, dan dia tidak memberiku apa yang cukup untuk diriku dan juga anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya sedang dia tidak mengetahui.” Maka beliau bersabda:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ.
“Ambillah apa yang cukup untuk dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.” [HR. Al-Bukhari].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ.
“Sebaik-baik sedekah adalah yang tidak meninggalkan kekayaan. Dan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan memberi orang yang di bawah tanggunganmu.”
Seorang wanita berkata, “Baik engkau beri aku nafkah atau engkau ceraikan aku.” Seorang hamba berkata, ‘Berilah makan kepadaku dan pekerjakanlah aku.’
Seorang anak berkata, ‘Kepada siapa engkau serahkan diriku?’ Mereka berkata, ‘Wahai Abu Hurairah. Apakah engkau mendengar hal ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Dia menjawab, ‘Tidak, ini berasal dari diri pribadi Abu Hurairah.” [HR. Al-Bukhari].
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً.
“Jika seorang muslim menafkahkan suatu nafkah kepada keluarganya sedang dia mengharapkan pahala atasnya, maka ia merupakan sedekah baginya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Masalah:
Memberi Nafkah dan Tempat Tinggal bagi Wanita yang Menyerahkan Gilirannya kepada Madunya (Isteri yang Lain)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An-Nisaa’/4: 128]
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (IX/267) mengatakan, “Yang dimaksudkan demikian itu oleh Allah Jalla Tsanaa-uhu adalah jika seorang wanita khawatir terhadap suaminya. Allah berfirman bahwa dia (isteri) mengetahui dari suaminya sedang نُشُوْزًا ‘Nusyuz’ yakni, merasa enggan terhadapnya dan lebih mengutamakan isteri lain atau merasa tinggi darinya, baik karena ketidaksukaannya atau karena kebenciannya terhadap beberapa sebabnya: penampilannya yang kurang menarik atau karena usianya yang sudah tua, maupun hal-hal lainnya. أَوْ إِعْرَاضًا ‘Tidak acuh,’ yakni memalingkan wajah darinya atau dengan memalingkan beberapa keuntungan dari suami yang didapatkannya selama ini dari suaminya tersebut.
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَ بَيْنَهُمَآ صُلْحًا ‘Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.’ Dia berfirman, ‘Tidak ada dosa atas keduanya, yaitu bagi seorang wanita yang takut nusyuz suaminya atau ketidakacuhannya, أَنْ يُصْلِحَ بَيْنَهُمَآ صُلْحًا ‘Untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” Yakni, hendaklah isteri meninggalkan harinya untuk suaminya atau menggugurkan beberapa kewajiban suami atas dirinya yang harus dipenuhi dengan harapan hal itu akan melanggengkan posisinya di sisi suaminya serta keteguhannya berpegang pada akad nikah yang diadakan antara dirinya dengan suaminya.”
Saat menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika seorang isteri khawatir suaminya menjauh darinya atau berpaling darinya, maka isteri boleh menggugurkan seluruh atau sebagian haknya seperti nafkah, pakaian atau waktu bermalamnya atau hak-hak lainnya. Dan suami boleh menerimanya, maka tidak mengapa isteri mendermakan hak tersebut dan suami menerimanya untuk itu.
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54562-kewajiban-memberi-nafkah-dan-tempat-tinggal.html